Pejuang Khilafah

Kamis, 16 April 2009

Salam_revolusi

Bentuk Sanksi dalam Islam
Mengenai bentuk-bentuk sanksi dalam Islam, bisa
diklasifikasikan menjadi empat macam:
1. Hudûd: Secara etimologis, hudûd adalah sesuatu yang membatasi
dua hal, sedangkan menurut istilah syara’, hudûd adalah
hukuman yang ditetapkan secara syar’i terhadap kemasiatan agar
terjadinya kemaksiatan yang sama bisa dihindari. Kesalahan yang
masuk dalam wilayah hudûd adalah zina, liwat, qadzaf (menuduh
orang lain berbuat zina), murtad, melakukan aktivitas yang
merusak, seperti bughâh, perampokan dan pencurian.
Adapun zina, menurut syara’, adalah memasukkan
hasyafah laki-laki baligh dalam vagina perempuan yang haram
baginya, baik yang dilakukan oleh pihak laki-laki maupun wanita.
Orang yang dinyatakan bersalah dalam kegiatan zina, wajib
dihukum cambuk sebanyak 100 (seratus) kali, jika berstatus
ghayr muhshan (belum pernah menikah secara syar’i) atau
dirajam (dilempari dengan batu ukuran sedang dan di tanam di
tanah setinggi dada) hingga meninggal dunia. Hukuman ini hanya
bisa dijatuhkan, jika ada empat orang saksi yang adil, atau
pengakuan pelaku, atau bukti kehamilan wanita dengan disertai
pengakuan. Semua bukti-bukti tersebut harus dikemukakan di
pengadilan, dan bukan karena dipaksa untuk melakukan zina.
Sementara liwat, tidak sama dengan zina, karena liwat
adalah memasukkan penis laki-laki baligh ke dubur laki-laki,
dimana memasukkan penis dalam kemaluan tersebut tidak sama
dengan memasukkannya ke dubur. Orang yang dinyatakan
bersalah dalam kasus ini wajib dihukum, dimana kedua pelakunya
dibunuh. Hukuman tersebut hanya bisa dijatuhkan di pengadilan
setelah adanya dua saksi yang adil atau pengakuan pelaku. Setelah
kegitan tersebut benar-benar terbukti, pelakunya bisa dibunuh
dengan dirajam, atau dibunuh, dan dibakar atau dilempar dari
bangunan tinggi kemudian dilempari dengan batu. Pendek kata,
ijmâ’ sahabat sepakat mengenai sanksi untuk pelaku liwat,
dibunuh. Hanya, para sahabat berbeda cara dalam melakukan
pembunuhan tersebut. Ada yang dirajam, dibakar, dilempar dari
bangunan tinggi dan sebagainya.
Qadzaf adalah menuduh orang lain melakukan zina.
Sedangkan hukuman bagi orang yang melakukan qadzaf adalah
dicambuk 80 kali. Hukuman ini dijatuhkan di pengadilan setelah
pihak penuduh tidak mempunyai bukti empat orang saksi yang adil

atau pengakuan pelaku. Namun, hukuman cambuk 80 kali
tersebut hanya akan dijatuhkan kepada orang yang baligh,
berakal, tidak dipaksa oleh orang lain dan orang yang dituduh
harus orang yang mempunyai kehormatan, yaitu: (1) muslim, (2)
berakal, (3) baligh, (4) menjaga kesucian dan (5) dewasa.
Peminum khamer adalah orang yang meminum minuman
yang mengandungi zat yang memabukkan atau sejenis dengannya.
Hukuman bagi peminum khamer adalah dicambuk 80 kali di
tempat umum. Hukuman ini dijatuhkan di pengadilan setelah
adanya dua saksi yang adil atau pengakuan dari pihak pelaku
dengan syarat peminum khamer tersebut adalah muslim, baligh,
berakal, tidak dipaksa, mengerti hukum keharamannya, sehat dan
tidak sedang sakit. Jika sedang sakit, hukumannya harus
ditangguhkan hingga sembuh, dan jika dalam keadaan mabuk,
harus ditungguhkan hingga sadar.
Hirâbah (tindakan onar) adalah perbuatan merampok di
jalan dan membuat kerusakan yang meliputi dua macam: bughâh
(pembangkang negara) dan quthâ’ at-tharîq (perampok jalanan).
Bughâh adalah orang yang memisahkan diri dari wilayah
kekuasaan khilafah Islam. Mereka adalah orang yang
membangkang dari negara dan melakukan perlawanan bersenjata
serta mengumumkan perang terbuka pada negara.203 Sedangkan
quthâ’ at-tharîq (pembegal jalanan) adalah orang yang mengambil
harta orang lain dengan senjata dan menakut-nakuti mereka.204
Mengenai hukuman bagi bughâh telah ditetapkan oleh
Islam, diperangi. Tetapi, sebelum diperangi mereka disadarkan.
Caranya, khalifah mengirim utusan kepada mereka. Jika mereka
kembali, mereka dibiarkan, tetapi jika tidak, mereka harus
diperangi sampai menyerah dan menyesali perbuatannya. Jika ada
yang ditangkap dan dipenjara, mereka tidak boleh diperlakukan
sebagai tawanan perang, tetapi diperlakukan sebagai orang yang
melakukan pelanggaran.
Berbeda dengan quthâ’ at-tharîq, mereka harus dijatuhi
hukuman sesuai dengan tindakannya. Jika mereka membunuh
tanpa mengambil harta, mereka harus dibunuh. Jika membunuh
dengan mengambil harta, mereka harus dibunuh dan disalib. Jika
mengambil harta tanpa membunuh, dipotong tangan kanan dan
kaki kirinya. Jika menakut-nakuti orang yang lewat, tanpa
membunuh dan mengambil hartanya, mereka harus dibuang dari
daerah.
Sedangkan orang murtad, yaitu orang yang keluar dari
Islam, baik secara i’tiqâdi seperti menyakini al-Qur’an bukan
kalâm Allah, atau secara qawli, dengan mengatakan bahwa “al-
Masîh adalah anak Allah” atau secara aqli seperti menyembah

berhala atau ragu bahwa Allah adalah Maha Esa. Orang yang
dinyatakan murtad, wajib dihukum mati. Caranya dengan
diminta bertaubat terlebih dahulu dan diberi waktu tiga hari dan
disadarkan, baru jika tetap tidak berubah dia wajib dibunuh.
Syaratnya orang yang murtad tersebut adalah orang Islam, baligh
dan berakal serta tidak dipaksa.
2. Jinâyah: Menurut bahasa, jinâyah adalah kejahatan, sedangkan
menurut istilah syara’, jinâyah adalah tindakan melanggar anggota
tubuh yang menjadi bagian organ yang wajib diqishas dalam
bentuk hukuman badan atau harta kekayaan. Kejahatan yang
masuk dalam wilayah jinâyah ini adalah pembunuhan dan
tindakan melukai atau mencederai anggota tubuh. Pembunuhan
sendiri, ada yang dilakukan dengan sengaja (‘amd), menyerupai
sengaja (syibh al-’amd) dan ada yang dilakukan karena khilaf
(khatha’). Orang yang membunuh dengan sengaja (‘amd) adalah
orang yang membunuh dengan menggunakan senjata pembunuh,
seperti pisau, parang, pistol dan sejenisnya. Orang seperti ini akan
dijatuhi hukuman mati, jika keluarga korban tidak mau
memaafkan dan menerima diyat. Tetapi, orang tua yang sengaja
membunuh anaknya, wajib dijatuhi hukuman, namun tidak
sampai dihukum mati.
Orang yang membunuh menyerupai pembunuhan yang
disengaja (syibh al-’amd)adalah tidak sengaja membunuh, seperti
memukul orang dengan kayu, atau melempar dengan batu kecil
atau alat yang secara umum tidak digunakan untuk melakukan
pembunuhan, namun orang tersebut meninggal. Orang seperti ini
dikenakan hukuman diyat mughâladhah (ganti rugi yang
berlipatganda), yaitu memberikan terbusan 100 ekor unta, 40 di
antaranya adalah unta yang tengah bunting yang diserahkan
kepada keluarga korban. Jika dia tidak mampu, dia wajib
membayar kafârât, dengan memerdekakan budak perempuan
mukminah, atau puasa dua bulan berturut-turut.
Orang yang membunuh karena salah, adalah orang yang
melakukan sesuatu yang tidak dimaksud untuk membunuh, seperti
menembak burung tetapi pelurunya mengenai orang. Adapun
hukumannya adalah diyat mukhaffafah, yaitu memberikan 100
ekor unta kepada keluarga korban, atau memerdekakan hamba
perempuan mukminah.
Sedangkan cara pembuktian kasus pembunuhan tersebut
adalah dengan menghadirkan dua saksi laki-laki atau satu saksi
laki-laki dan dua saksi perempuan yang adil di pengadilan. Jika
tidak ada, harus ada pengkuan dari pelaku pembunuhan. Jika
keduanya tidak ada, maka hukuman tersebut tidak bisa
dijatuhkan.

Sementara tindakan melukai atau mencederai anggota
tubuh, harus diteliti: Jika seseorang menghilangkan organ tubuh
tunggal, seperti lidah, orang tersebut harus dikenakan diyat 100%
seperti pembunuhan. Jika menghilangkan organ tubuh ganda,
seperti tangan atau telinga, maka jika yang dihilangkan adalah
salah satu organ saja, dia harus dikenakan diyat 50%, dan jika
kedua-duanya sekaligus, dia harus dikenakan diyat 100%.
Sedangkan jika organ tubuh yang dihilangkan berupa pelupuk
mata, maka dia harus dikenakan diyat 25% atau jika jari-jari
tangan yang dihilangkan maka tiap satu jari dikenakan diyat 10%.
Sementara untuk gigi, diyatnya berbeda; jika menghilangkan satu
gigi, akan dikenakan 5 ekor unta.
3. Ta’zîr: Menurut bahasa, ta’zîr adalah pencegahan, sedangkan
menurut istilah syara’, ta’zîr adalah hukuman yang disyariatkan
atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudûd dan kafârât-nya.
Mengenai ketentuan ta’zîr diserahkan kepada khalifah, namun
hakim dibenarkan untuk menetapkan ketentuannya, berdasarkan
ijtihadnya. Sedangkan kejahatan yang dikenakan ta’zîr adalah
kejahatan atau pelanggaran syar’i yang tidak ditentukan hukuman
hudûd atau kafârât-nya seperti berbuka puasa pada siang hari
Ramadhan tanpa ada udzur syar’i, mengumpat orang lain dan
menipu.
Bentuknya, antara lain: (1) dibunuh, contohnya, seperti
mata-mata provokator yang memecah-belah persatuan kaum
muslimin akan dibunuh, (2) cambukan sebanyak 10 kali, (3)
penjara, yang ketentuan lamanya diserahkan kepada hakim, (4)
pembuangan, yaitu dibuang dari daerah, (5) denda, yaitu
hukuman atas pelaku kriminal dengan membayar denda karena
kesalahannya, (6) perampasan harta, terutama harta yang
diperoleh dengan cara yang tidak halal, (7) embargo atas pelaku
kriminal, (8) ancaman, seperti: “Apabila melakukan begini dan
begini, maka akan dihukum begini”, (9) pencabutan nafkah atau
pekerjaan, (10) dipermalukan.
4. Mukhâlafât: Mukhâlafât adalah penyelewengan terhadap
perintah atau larangan yang dikeluarkan oleh negara.
Penyelewengan tersebut memang tidak mempunyai bentuk
tertentu, kecuali secara umum adalah seluruh tindakan yang
menyimpang dari undang-undang. Mukhâlafât ini berbeda dengan
ta’zîr. Sebab, mukhâlafât merupakan sanksi atas penyelewengan
terhadap perintah dan larangan penguasa. Sedangkan ta’zîr
adalah pelanggaran atas perintah dan larangan Allah. Meskipun,
dari satu sisi, antara ta’zîr dengan mukhâlafât, mempunyai
persamaan; sama-sama ketentuan hukumannya diserahkan
kepada khalifah atau hakim sebagai wakil khalifah. Disamping itu,

mukhâlafât tidak memerlukan pengadilan, sebab pelakunya
langsung bisa dijatuhi hukuman di tempat.205
Jika hukuman tersebut dilaksanakan dengan bentuk dan
cara seperti di atas, maka setiap orang yang melakukan
pelanggaran akan menyesal dan akhirnya tidak akan mengulangi
kemasiatan yang pernah dilakukannya. Begitu juga dengan orang
lain yang akan melakukan kemaksiatan, akan pobhi. Dengan
demikian, pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi terhadap
syariat Islam, baik yang berkaitan dengan akidah, seperti murtad,
ataupun merusak pemikiran Islam dengan menyebarkan ideologi
kufur atau yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum
syara’ akan bisa dihindari. Akhirnya, syariat Islam akan tetap
utuh, agung dan tetap eksis sebagai sebuah agama dan mabda’.
Semoga bermanfaat Allahu Akbar!!!

0 komentar: