Pejuang Khilafah

Senin, 27 September 2010

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA YANG JAHIL DAN TERPEDAYA (Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur)

PENJELASAN LURUS BAGI MEREKA
YANG JAHIL DAN TERPEDAYA

(Itsbat 'Aqidah dan Sikap Yang Benar Terhadap Siksa Kubur)
Abu Mohammad Zain As Sakhawiy An Nawiy

MUQADDIMAH
Di antara upaya yang dilakukan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim untuk menjauhkan umat dari Hizbut Tahrir adalah menyebarkan peraguan, penyesatan, pendustaan, dan pembodohon atas pandangan dan pemikiran Hizbut Tahrir. Mereka berusaha mati-matian mencitrakan Hizbut Tahrir sebagai partai sesat yang memiliki pandangan dan pemikiran yang menyimpang dari Al-Quran dan Sunnah. Berbagai macam fitnah dan propaganda untuk menyerang pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir terus digelar hingga akhirnya mereka sendirilah yang menuai kegagalan atas ijin Allah swt. Pasalnya, seiring dengan meningkatnya pemahaman umat terhadap Islam dan pulihnya kesadaran politik mereka; umat pun menyadari kebenaran, ketangguhan, kelurusan, dan kesucian pemikiran Hizbut Tahrir. Bahkan, umat Islam semakin menyadari urgensi Hizbut Tahrir bagi mereka. Kesadaran inilah yang menyebabkan umat berusaha dengan keras untuk melindungi dan menjaga Hizbut Tahrir dari musuh-musuhnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, umat pun mampu membedakan mana kelompok benar yang tegak di atas kebenaran, berusaha menyatukan umat, dan mengembalikan kembali kejayaan kaum Muslim melalui tegaknya syariat dan Khilafah; serta mana kelompok sesat yang didirikan oleh penguasa-penguasa fasiq untuk membuat perpecahan, makar, fitnah di tengah-tengah kaum Muslim, dan menghalang-halangi tegaknya Khilafah Islamiyyah.
Di antara fitnah keji yang ditikamkan musuh-musuh Allah terhadap Hizb Tahrir adalah "Hizbut Tahrir menolak hadits ahad dan siksa kubur". Padahal, Hizbut Tahrir tidak pernah menolak hadits-hadits shahih yang berbicara tentang ketetapan akherat (ahkaam al-akhirat), semacam siksa kubur, melihat Allah (rukyatullah) dengan mata di hari akhir, dan lain sebagainya,. Di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir –yang menjadi cermin dan rujukan pemikiran Hizbut Tahrir—, pembaca budiman tidak akan pernah menemukan statement-statemen dusta tersebut. Sebaliknya, di dalam kitab-kitab mutabannat Hizbut Tahrir, para pembaca akan mendapati penjelasan yang benar dan rajih mengenai hadits ahad shahih serta kedudukannya dalam itsbat 'aqidah (penetapan masalah aqidah). Bahkan, siapa saja yang teliti dan serius mengkaji kitab-kitab klasik karya ulama-ulama mu'tabar, pastilah akan berkesimpulan bahwa pandangan-pandangan Hisbut Tahrir, baik yang menyangkut masalah ushuluddin maupun ushulul ahkam, senantiasa sejalan dengan pandangan ulama-ulama mu'tabar yang menghendaki kesucian dan kelurusan 'aqidah Islamiyyah.
Hanya saja, para penyebar dusta dan fitnah dari kalangan antek-antek penguasa fasiq dan kafir, serta orang-orang jahil telah membodoh-bodohi umat dengan cara menebar isyu-isyu menyesatkan terhadap pandangan-pandangan Hizbut Tahrir, di antaranya adalah pandangan Hizbut Tahrir terhadap hadits ahad. Padahal, siapa saja yang memahami ushulul hadits serta pendapat para ulama salafush shalih mengenai masalah ini, pastilah ia berkesimpulan bahwa pandangan Hizbut Tahrir mengenai hadits ahad dan kedudukannya dalam istbat 'aqidah merupakan pandangan paling rajih yang juga dipegang oleh mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan para shahabat dan ulama-ulama salafush shalih.
Namun, demi melaksanakan kewajiban "meluruskan yang bengkok dan menjernihkan yang keruh", kami akan menjelaskan masalah ini sesuai rujukan dan timbangan yang lurus dan benar.
Para pembaca budiman, agar anda benar-benar memahami kedudukan hadits ahad dalam masalah itsbat 'aqidah (penetapan 'aqidah) –termasuk di dalamnya siksa kubur--, maka anda harus memahami terlebih dahulu perkara-perkara berikut ini:

1. Definisi dan Cakupan 'Aqidah
2. Itsbat 'Aqidah (Penetapan 'Aqidah)
3. Kedudukan Hadits Ahad Dalam Itsbat 'Aqidah
4. Sikap Seorang Muslim Terhadap Hadits Ahad Shahih

DEFINISI DAN CAKUPAN 'AQIDAH
Menurut istilah, kata i’tiqaad atau al-iman (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti). Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani rahimahullah menyatakan:

"العقيدة الإسلامية هي الإيمان بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وبالقضاء والقدر خيرهما وشرهما من الله تعالى. ومعنى الإيمان هو التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل، لأنه إذا كان التصديق عن غير دليل لا يكون إيماناً. إذ لا يكون تصديقاً جازماً إلا إذا كان ناجماً عن دليل. فإن لم يكن له دليل لا يتأتى فيه الجزم، فيكون تصديقاً فقط لخبر من الأخبار فلا يعتبر إيماناً. وعليه فلابد أن يكون التصديق عن دليل حتى يكون جازماً أي حتى يكون إيماناً. ومن هنا كان لابد من وجود الدليل على كل ما يُطلب الإيمان به حتى يكون التصديق به إيماناً. فوجود الدليل شرط أساسي في وجود الإيمان بغض النظر عن كونه صحيحاً أو فاسداً..."
"'Aqidah Islaamiyyah adalah iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, Kitab-kitab SuciNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, serta qadla' dan qadar, baik buruknya dari Allah swt. Makna "al-iman" adalah tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' 'an daliil" (pembenaran yang bersifat pasti, berkesesuaian dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil)". Sebab, jika "tashdiiq" (pembenaran) tidak ditunjang oleh dalil, maka "tashdiiq" seperti ini tidak disebut dengan "iman". Pasalnya, sebuah pembenaran (tashdiiq) tidak akan menjadi pembenaran yang bersifat pasti (tashdiiq al-jaazim), kecuali muncul dari dalil. Jika sebuah pembenaran tidak memiliki dalil (bukti), maka pembenaran tersebut tidak memiliki kepastian. Pembenaran yang tidak ditunjang oleh dalil hanya akan menjadi pembenaran terhadap suatu khabar dari khabar-khabar yang ada; dan tidak dianggap sebagai iman. Oleh karena itu, sebuah pembenaran (tashdiiq), baru dianggap pembenaran yang bersifat pasti atau iman, jika pembenaran tersebut ditunjang oleh dalil. Atas dasar itu, adanya sebuah dalil yang menunjang setiap perkara yang wajib diimani, sehingga sebuah "tashdiiq" disebut dengan "iman"; merupakan sebuah keharusan. Keberadaan dalil merupakan syarat asasi dalam keimanan, tanpa memandang apakah keimanan itu shahih atau fasid..." [Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 29. Bandingkan pula dengan Prof. Mahmud Syaltut, Islam; 'Aqidah wa Syari'ah, ed. III, Daar al-Qalam, 1966, hal.56; Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dhann fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22]
Masih menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy rahimahullah, perkara-perkara 'aqidah harus ditetapkan berdasarkan dalil qath'iy. Beliau rahimahullah menyatakan:

أما العقيدة فإنها التصديق الجازم المطابق للواقع عن دليل. وما دامت هذه هي حقيقة العقيدة، وهذا هو واقعها، فلابد أن يكون دليلها محدثاً التصديق الجازم. وهذا لا يتأتى مطلقاً إلا إذا كان هذا الدليل نفسه دليلاً مجزوماً به حتى يصلح دليلاً للجزم.
"Adapun 'aqidah, maka, 'aqidah adalah pembenaran yang bersifat pasti, sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh dalil. Semampang definisi ini adalah hakekat 'aqidah dan realitas dari 'aqidah, maka dalil 'aqidah harus mengantarkan kepada pembenaran yang bersifat pasti. Hal ini tidak akan tercapai secara mutlak, kecuali jika dalil tersebut adalah dalil pasti sehingga layak menjadi dalil untuk sebuah kepastian".[ Syaikh Taqiyyuddin An Nabhaniy, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 191].
Di dalam Kitab al-Wajiz fii 'Aqiidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamaa'ah dinyatakan:

وفي الاصطلاح : هي الأمور التي يجب أن يُصَدِّقَ بها القلب ، وتطمئن إِليها النفس ، حتى تكون يقينا ثابتا لا يمازجها ريب ، ولا يخالطها شك .أَي : الإِيمان الجازم الذي لا يتطرَّق إِليه شك لدى معتقده ، ويجب أَن يكون مطابقا للواقع ، لا يقبل شكا ولا ظنا ؛ فإِن لم يصل العلم إِلى درجة اليقين الجازم لا يُسَمى عقيدة. وسمي عقيدة ؛ لأَنَّ الإِنسان يعقد عليه قلبَه .
"Secara istilah, aqidah adalah perkara-perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan menentramkan jiwa, sehingga perkara-perkara tersebut menjadi sebuah keyakinan yang tidak disusupi oleh keraguan dan bercampur dengan persangkaan (al-syakk). Dengan kata lain, 'aqidah adalah keimanan pasti (al-iiman al-jaazim) yang tidak dihinggapi keraguan pada diri orang yang menyakininya; dan ia harus sesuai dengan kenyataan, tidak mengandung keraguan dan persangkaan. Dan jika sebuah keyakinan tidak mencapai taraf al-iiman al-jaazim (iman yang pasti), maka perkara itu tidak dinamakan dengan aqidah. Disebut 'aqidah karena, manusia akan mengikatkan hatinya kepada perkara tersebut (aqidah)". ['Abdullah bin 'Abdul Hamid al-Atsariy, Al-Wajiiz fii 'Aqiidah Salaf al-Shaalih, juz 1, hal. 11-13]
Penjelasan 'Allamah Taqiyyuddin An Nabhani di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Imam al-Jurjani di dalam kitab al-Ta'rifaat. Imam al-Jurjani menyatakan:

الإيمان في اللغة: التصديق بالقلب، وفي الشرع: هو الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان. وقيل: من شهد وعمل ولم يعتقد فهو منافق، ومن شهد ولم يعمل واعتقد فهو فاسق، ومن أخل بالشهادة فهو كافر.
"Secara literal, iman adalah tashdiiq al-qalb (pembenaran dalam hati). Sedangkan menurut syariat, iman adalah al-i'tiqaad bi al-qalb wa al-iqraar bi al-lisaan (keyakinan dalam hati dan diucapkan dengan lisan)". Dinyatakan, "Barangsiapa bersyahadat dan beramal, namun tidak menyakini, maka ia adalah orang munafik; barangsiapa bersyahadat namun tidak mengamalkan dan menyakini, maka ia adalah orang fasik; dan siapa saja tidak bersyahadat maka ia adalah orang kafir". [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal. 12]
Terma lain yang digunakan oleh para ulama untuk menjelaskan pengertian 'aqidah dan iman adalah ilmu. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kata iman, 'aqidah, dan ilmu kadang-kadang digunakan dengan makna yang sama. Adapun makna "al-ilmu", sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab al-Ta'riifaat adalah sebagai berikut:

العلم هو الاعتقاد الجازم المطابق للواقع، وقال الحكماء: هو حصول صورة الشيء في العقل، والأول أخص من الثاني، وقيل: العلم هو إدراك الشيء على ما هو به، وقيل: زوال الخفاء من المعلوم، والجهل نقيضه، .....وقيل: العلم: صفة راسخة تدرك بها الكليات والجزئيات...."
"Al-'ilmu adalah i'tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi' (ilmu (keyakinan) adalah keyakinan pasti yang sejalan dengan realitas)" Sedangkan menurut Ahli Hikmah, ilmu adalah sampainya penggambaran sesuatu ke dalam akal. Definisi yang pertama ini lebih khusus dibandingkan yang kedua. Ada pula yang mendefinisikan ilmu dengan memahami hakekat yang terkandung di dalam sesuatu. Ada pula yang mengartikannya dengan hilangnya kesamaran dari sesuatu yang hendak diketahui; dan lawannya adalah al-jahlu (kebodohan)"...Ada pula yang menyatakan bahwa ilmu adalah sifat mendalam yang dengannya bisa dipahami perkara-perkara yang bersifat kulli (integral) dan juz'iy (parsial)". [Imam al-Jurjaniy, al-Ta'riifaat, juz 1, hal. 49]
Imam al-Baghawiy, di dalam Tafsir al-Baghawiy menyatakan:

وحقيقة الإيمان التصديق بالقلب، قال الله تعالى "وما أنت بمؤمن لنا"( 17-يوسف ) [أي بمصدق لنا] (4) وهو في الشريعة: الاعتقاد بالقلب والإقرار باللسان والعمل بالأركان، فسمي الإقرار والعمل إيمانا؛ لوجه من المناسبة، لأنه من شرائعه.
"Hakekat iman adalah tashdiiq bi al-qalbi (pembenaran di dalam hati). Allah swt berfirman, "Dan sesungguhnya engkau tidak akan percaya kepada kami".[Yusuf:17], maksudnya adalah mushaddiq lanaa (mempercayai kami). Sedangkan menurut syariat, iman adalah i'tiqaad di dalam hati, diakui dengan lisan, dan amalkan dengan rukun-rukun tertentu. Pengakuan dan amal disebut dengan iman, karena keduanya merupakan bagian dari syariat-syariat yang berhubungan erat dengan iman". [Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 1, hal. 60]
Penjelasan di atas diperkuat oleh pernyataan Imam Nawawi rahimahullah:

وَاتَّفَقَ أَهْل السُّنَّة مِنْ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاء وَالْمُتَكَلِّمِينَ عَلَى أَنَّ الْمُؤْمِن الَّذِي يُحْكَمُ بِأَنَّهُ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة وَلَا يُخَلَّد فِي النَّار لَا يَكُون إِلَّا مَنْ اِعْتَقَدَ بِقَلْبِهِ دِينَ الْإِسْلَامِ اِعْتِقَادًا جَازِمًا خَالِيًا مِنْ الشُّكُوك ، وَنَطَقَ بِالشَّهَادَتَيْنِ ، فَإِنْ اِقْتَصَرَ عَلَى إِحْدَاهُمَا لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْل الْقِبْلَة أَصْلًا إِلَّا إِذَا عَجَزَ عَنْ النُّطْق لِخَلَلٍ فِي لِسَانه أَوْ لِعَدَمِ التَّمَكُّن مِنْهُ لِمُعَاجَلَةِ الْمَنِيَّةِ أَوْ لِغَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَكُون مُؤْمِنًا.
"Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa Mukmin yang ditetapkan termasuk bagian ahlul kiblat dan tidak akan kekal di dalam neraka tidak lain tidak bukan adalah orang yang menyakini dienul Islam di dalam hatinya dengan keyakinan yang pasti tanpa ada keraguan sedikitpun, dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika salah satu syarat itu kurang, maka orang itu tidak termasuk ahlul kiblat pada konteks asalnya; kecuali jika ia tidak mampu mengucapkan dua kalimat syahadat karena cacat lisannya, atau karena tidak adanya kemungkinan bagi dirinya untuk mengucapkannya (dua kalimat syahadat) karena keburu meninggal dunia, atau karena sebab lain. Maka dalam kondisi seperti ini orang tersebut termasuk orang Mukmin". [ Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49]
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan beberapa point penting berikut ini:
1. 'Aqidah adalah perkara-perkara yang wajib diimani dan diikatkan di dalam hati, dan dibenarkan secara pasti (tashdiiq al-jaazim), sesuai dengan fakta, dan ditunjang oleh bukti.
2. Sebuah keyakinan tidak absah dikategorikan sebagai bagian dari 'aqidah Islamiyyah –yang berkonsekuensi kepada iman dan kafir-- jika keyakinan tersebut belum mencapai taraf 'ilmu yaqiin, atau tashdiiq al-jaazim (kepastian atau pembenaran yang bersifat pasti).

0 komentar: